Planologic Bahas Palestina dari Perspektif Tata Ruang dan Kemanusiaan
JAKARTA – Konflik di Palestina bukan hanya soal penjajahan dan kekerasan bersenjata, tetapi juga persoalan ketidakadilan tata ruang yang merampas hak hidup warga sipil. Gagasan ini menjadi pokok bahasan utama dalam webinar bertajuk “Palestina dalam Pusaran Perencanaan: Tata Ruang, Konflik, dan Kemanusiaan” yang digelar secara daring pada Ahad, 25 Mei 2025.
Webinar ini diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa, Ikatan Mahasiswa Perencana Indonesia (IMPI), dan Planologic.id. Dihadiri oleh kalangan mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), aktivis sosial, dan masyarakat umum, acara ini menjadi ruang refleksi tentang bagaimana konflik di Palestina berdampak tidak hanya pada hilangnya nyawa, tetapi juga pada kerusakan struktur sosial dan spasial kota.
“Kota bukan hanya tentang tata ruang, tapi juga tentang keadilan dan hak hidup,”
demikian kutipan pembuka yang menjadi semangat diskusi.
Dua Perspektif, Satu Tujuan: Keadilan
Webinar menghadirkan dua narasumber dari latar belakang berbeda yang saling melengkapi.
Sesi pertama diisi oleh Ustaz Herman Budianto, M.Si, seorang dai sekaligus Tim Kemanusiaan Dompet Dhuafa di Palestina. Dalam materi berjudul “Melihat Palestina dari Kacamata Kemanusiaan”, Ustaz Herman memaparkan sejarah panjang penjajahan Palestina sejak 1948, termasuk pengusiran lebih dari 800.000 warga Palestina dari tanah kelahiran mereka. Ia juga menyinggung berbagai tragedi kemanusiaan, seperti Deir Yassin (1948), Sabra & Shatila (1982), hingga agresi 2023–2024 yang menewaskan puluhan ribu warga sipil.
“Yang terjadi di Palestina saat ini bukan sekadar konflik, tetapi bentuk genosida terbuka. Maka, edukasi publik dan gerakan kemanusiaan harus terus digelorakan,” tegasnya. Ia juga menekankan pentingnya filantropi Islam dalam membantu korban melalui distribusi bantuan pangan, layanan kesehatan darurat, dan pendidikan.
Sesi kedua disampaikan oleh Arif Musyaffat, analis dari Planologic, dengan presentasi berjudul “Perencanaan Kota dalam Bayang-Bayang Konflik: Studi Kasus Palestina”. Arif menjelaskan bagaimana rezim pendudukan Israel memanfaatkan tata ruang sebagai instrumen kolonisasi, melalui pengurangan ruang publik secara sistematis hingga 78 persen dan pembangunan infrastruktur eksklusif seperti jalan pemukim dan tembok pemisah.
“Ruang dipolitisasi. Checkpoint, jalan pemukim, dan pemisahan kawasan bukan sekadar isu teknis, tapi bentuk ketidakadilan spasial yang mengekang hak hidup warga Palestina,” ujarnya. Ia menutup dengan refleksi bahwa perencana kota masa kini perlu memiliki kesadaran kritis tentang peran ruang dalam perjuangan kemanusiaan.
Ruang, Nurani, dan Harapan
Webinar ini membuktikan bahwa komunitas mahasiswa, lembaga kemanusiaan, dan komunitas keilmuan bisa bersatu membangun gerakan solidaritas yang tidak berhenti pada wacana, melainkan berujung pada aksi nyata. Dompet Dhuafa berharap agenda seperti ini terus digelar sebagai bagian dari edukasi, penguatan empati publik, dan langkah strategis memperjuangkan hak-hak korban konflik.
